Rabu, 11 April 2012

Pengalaman Bertanam Di Lahan Kering


Saya merasa beruntung ketika tanpa saya duga bertemu dengan seorang ibu berparas cantik, sederhana, energik, dan cerdas. Ia bukang seorang insinyur pertanian. Saat berjumpa pertama itu, ia menyebut dirinya sebagai seorang petani. Ia hidup dan mengolah hidup di Adonara . Pengakuannya sebagai seorang petani mengundang ketidakpercayaan saya. Namun sebagai respons etis untuk tidak menciptakan jarak antara saya dengan dirinya, saya manggut-manggut saja. Tetapi, dia tahu kalau saat itu saya sedang tak percaya pada pengakuannya.

Pada hari kedua dalam pertemuan kami, kebetulan saat makan bersama di meja makan, tanpa ia sadari keluarlah dari mulutnya sebuah pengakuan bahwa ia ternyata adalah alumnus Unmer Malang pada fakultas Hukum. Maka serta-merta ia histeris seolah ada sebuah bencana telah terjadi, ialah bahwa ia ketahuan oleh saya sekarang bahwa dia tidak tanpa pendidikan. Dalam dialog selanjutnya ia mengakui bahwa dia menjadi salah satu korban saat Soeharto lengser dengan resesi ekonomi yang dahsyat hingga suaminya yang bekerja di sektor swasta dan dia yang berkarya di bidang broadcasting mengalami kejatuhan ekonomi. Kejatuhan inilah yang mendorong dia untuk mengajak suaminya segera kembali ke kampung ialah Adonara Barat-NTT. Ia tidak memilih ke Kalimantan tempat ia dilahirkan walaupun dari segi kesuburan lahan, Kalimantan tentu lebih berpeluang daripada Adonara Barat.

Loretha “membanting stir” dengan menjadi seorang petani lahan kering di Adonara, kendatipun keputusannya itu mengundang protes kecil sang suami. sebab bertani bagi kebanyakan orang dipandang sebagai sebuah pekerjaan tidak menggembirakan. Terhadap protes itu ia bertutur, “Kau makan sudah itu perasaanmu sampai kenyang”. Lalu dengan idealisme baru itu,  ia memulai debutnya di lahan kering.
Menurutnya, kondisi lahan kering di Adonara Barat, tentu juga di kebanyakan wilayah lain di NTT, sangat cocok untuk membudidayakan sejumlah varietas tanaman pangan local, seperti sorgum, jelai, jewawut, padi hitam, wijen. Varietas ini telah lama diabaikan masyarakat padahal justru memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Hitungan Loretha praktis saja ialah bahwa NTT luas lahan keringnya jauh lebih luas daripada lahan basah harus disikapi dengan bijak. “Lahan kering harus digarap dan dioptimalkan. NTT tidak harus mendapat julukan sebagai propinsi rawan pangan setiap tahunnya. Saya prihatin kalau makanan diidentikkan orang sebagai beras putih”, tegasnya. Ia setuju saja dengan kebijakan  pemerintah menempatkan  tanaman jagung dan padi sawah sebagai primadona namun baginya tidak strategis dalam menyikapi kondisi lahan kering yang begitu luas di NTT.

Untuk mewujudkan impiannya, lahan miliknya seluas 3 hektar dikapling-kaplingnya. Satu hektar untuk diolahnya sendiri sedangkan dua hektar lainnya dibagikannya kepada kelompok masyarakat yang berminat mengikuti langkahnya. Yang menarik adalah bahwa pengolahan lahan-lahan itu justru dilakukan pada musim kemarau. Para petani yang berhasil diajaknya untuk mengolah lahan kering, dituntunnya dengan berbagai pengetahuan praktis tentang cara pengolahan lahan, cara pemeliharaan tanaman hingga cara pengolahan hasil panen. Ia tidak segan-segan mengumpulkan para petani untuk diberinya pencerahan demi keberhasilan pembudidayaan jenis tanaman lokal yang dimaksud.

“Untuk memberikan berbagai penjelasan tentang bagaimana sistem bercocok tanam dengan jenis tanaman di atas, saya tidak memiliki brosur. Saya tidak punya uang untuk membuat brosur. Padahal kalau ada brosur, pasti lebih mudah dimengerti oleh masyarakat”, katanya mengeluh.
Usaha-usaha yang dilakukannya ternyata berhasil sehingga mengundang perhatian banyak kalangan termasuk dinas pertanian. Hanyalah bahwa tanggapan teman-teman penyuluh setempat kurang apresiatif. ”Ia dianggap melakukan kegiatan yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah NTT”. Hahahaiya….
Usahanya untuk menumbuhkembangkan kecintaan masyarakat pada jenis tanaman lokal terus diperjuangkannya sambil mengabaikan ocehan-ocehan yang menilainya melawan arus kebijakan pemerintah. Keberhasilannya di Adonara Barat dikembangkannya pula bagi saudara-saudaranya di beberapa kabupaten di daratan Flores seperti kabupaten Ende, Manggarai Barat, Nagekeo, Folres Timur, dan Adonara Barat dengan sejumlah tantangan yang melelahkan dan terkadang menjengkelkan. Salah satunya ‘kedatangannya tidak mendapat respek dari pemerintah daerah bahkan kedatangannya karena dalam status sebagai petani, dinilai sebagai upaya mengemis’. Busyeeet!

Yang sedikit tidak sedap dipandang mata adalah, bahwa ketika terjadi peringatan Hari Pangan Sedunia di Adonara, Loretha yang sebelumnya menerima penghargaan dari Gubernur NTT di Kupang karena kepeloporannya membudidayakan pangan lokal,  tidak diundang. Tapi bagi Loretha, itu bukan masalah. Mungkinkah kehadiran Loretha, menjadi gagguan kenyamanan? Wallahu alam.
Sepintas, semua kalangan yang melihat gerakan wanita kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, 28 Mei 1970 ini, menganggapnya sebagai orang dari kalangan berduit. Pasalnya, ia sering mengumpulkan kelompok petani binaannya untuk diberi arahan, ia mengajak pihak-pihak lain juga untuk hadir dalam berbagai pertemuan dengan para petani. Tidak jarang pula perjumpaannya dengan pihak-pihak pemerhati kegiatan kemanusiaan yang berminat pada perjuangannya, dipandang sebagai kesempatan ia mendapat modal finansial. Maka jadilah Loretha tersiksa oleh anggapan ini hingga ia harus berjuang lagi untuk meyakinkan bahwa ia sesungguhnya tidak mendapat apapun dari kegiatannya bahkan dengan susah payah membiayai kegiatannya dalam keprihatinan.

Di tengah kegiatannya yang melelahkan itu, Maria Loretha akhirnya dikejutkan oleh sebuah dering telpon dari seseorang yang menyebut dirinya Ketua Panitia NTT Academy Award 2011. Pada hari Kamis malam tanggal 12 Januari, ia diundang untuk ke Kupang, ibukota Propinsi NTT, sebagai salah satu pemenang NTT Academy Award bersama tiga orang lainnya yang tidak ia kenal. Loretha tidak percaya dan menolak ajakan itu. Tetapi dengan segala upaya meyakinkan, Ketua Panitia berhasil menjadikan Loretha nekat menempuh perjalanan meletihkan menuju Kupang pada tanggal 13 Januari 2012. Alhasil, pada tanggal 14 Januari 2012, bertempat di Museum Negeri NTT, ia menerima anugerah NTT Academy Award 2011 dalam bidang Sains dan Inovasi Keteknikan. Sedangkan tiga teman lainnya masing-masing menerima award dalam kategori Inovasi Pembangunan, entrepreneurship/kewirausahaan, serta  humaniora dan inovasi sosial budaya.
Tak dibayangkannya untuk mendapat penghargaan ini, seperti juga tak dibayangkannya pula bahwa selama berada di Kupang dalam rangka menerima penghargaan, lahan persawahan di Larantuka daratan diserang hama tikus  hingga babak belur sedangkan wilayahnya dan tanaman pangan lokal yang dibudidayakan, bebas dari hama. “Mungkin ini adalah akibat dari tidak selarasnya relasi alam dengan manusia oleh penggunaan berbagai jenis pestisida”, katanya.

Loretha memang seorang yang bijak. Uangnya dipakai untuk membelikan anggota kelompoknya masing-masing 2 lembar CD, dan kepada masing-masing anggotanya uang tunai sebanyak Rp 50.000 sedangkan sisanya hendak dibelanjakan sebuah alat pemarut kelapa utnuk pengolahan buah kelapa. Piagam dan tropi yang diperolehnya ditunjukkannya pula pada kelompok, seolahia mempunyai kewajiban mempertanggungjawabkan semuanya kepada kelompok. Luar biasa !
Kini Loretha sedang menanti saat puncak kedua pada bulan Pebruari 2012 untuk menerima sebuah award lagi dari Kehati di Jakarta dan selanjutnya akan melanglang buana ke pulau Sumba oleh undangan sebuah LSM di sana. Tujuannya untuk melihat kondisi lahan di pulau Cendana ini bagi upaya perluasan pembudidayaan varietas tanaman yang sudah dimulainya di daratan Flores-NTT.