Saya
merasa beruntung ketika tanpa saya duga bertemu dengan seorang ibu berparas
cantik, sederhana, energik, dan cerdas. Ia bukang seorang insinyur pertanian.
Saat berjumpa pertama itu, ia menyebut dirinya sebagai seorang petani. Ia hidup
dan mengolah hidup di Adonara . Pengakuannya sebagai seorang petani mengundang
ketidakpercayaan saya. Namun sebagai respons etis untuk tidak menciptakan jarak
antara saya dengan dirinya, saya manggut-manggut saja. Tetapi, dia tahu kalau
saat itu saya sedang tak percaya pada pengakuannya.
Pada
hari kedua dalam pertemuan kami, kebetulan saat makan bersama di meja makan,
tanpa ia sadari keluarlah dari mulutnya sebuah pengakuan bahwa ia ternyata
adalah alumnus Unmer Malang pada fakultas Hukum. Maka serta-merta ia histeris
seolah ada sebuah bencana telah terjadi, ialah bahwa ia ketahuan oleh saya
sekarang bahwa dia tidak tanpa pendidikan. Dalam dialog selanjutnya ia mengakui
bahwa dia menjadi salah satu korban saat Soeharto lengser dengan resesi ekonomi
yang dahsyat hingga suaminya yang bekerja di sektor swasta dan dia yang
berkarya di bidang broadcasting mengalami kejatuhan ekonomi. Kejatuhan inilah
yang mendorong dia untuk mengajak suaminya segera kembali ke kampung ialah
Adonara Barat-NTT. Ia tidak memilih ke Kalimantan tempat ia dilahirkan walaupun
dari segi kesuburan lahan, Kalimantan tentu lebih berpeluang daripada Adonara
Barat.
Loretha
“membanting stir” dengan menjadi seorang petani lahan kering di Adonara, kendatipun
keputusannya itu mengundang protes kecil sang suami. sebab bertani bagi
kebanyakan orang dipandang sebagai sebuah pekerjaan tidak menggembirakan.
Terhadap protes itu ia bertutur, “Kau makan sudah itu perasaanmu sampai
kenyang”. Lalu dengan idealisme baru itu, ia memulai debutnya di
lahan kering.
Menurutnya,
kondisi lahan kering di Adonara Barat, tentu juga di kebanyakan wilayah lain
di NTT, sangat cocok untuk membudidayakan sejumlah varietas tanaman pangan
local, seperti sorgum, jelai, jewawut, padi hitam, wijen. Varietas ini telah
lama diabaikan masyarakat padahal justru memiliki kandungan gizi yang sangat
tinggi. Hitungan Loretha praktis saja ialah bahwa NTT luas lahan keringnya jauh
lebih luas daripada lahan basah harus disikapi dengan bijak. “Lahan kering
harus digarap dan dioptimalkan. NTT tidak harus mendapat julukan sebagai
propinsi rawan pangan setiap tahunnya. Saya prihatin kalau makanan diidentikkan
orang sebagai beras putih”, tegasnya. Ia setuju saja dengan kebijakan
pemerintah menempatkan tanaman jagung dan padi sawah sebagai primadona
namun baginya tidak strategis dalam menyikapi kondisi lahan kering yang begitu
luas di NTT.
Untuk
mewujudkan impiannya, lahan miliknya seluas 3 hektar dikapling-kaplingnya. Satu
hektar untuk diolahnya sendiri sedangkan dua hektar lainnya dibagikannya kepada
kelompok masyarakat yang berminat mengikuti langkahnya. Yang menarik adalah
bahwa pengolahan lahan-lahan itu justru dilakukan pada musim kemarau. Para
petani yang berhasil diajaknya untuk mengolah lahan kering, dituntunnya dengan
berbagai pengetahuan praktis tentang cara pengolahan lahan, cara pemeliharaan
tanaman hingga cara pengolahan hasil panen. Ia tidak segan-segan mengumpulkan
para petani untuk diberinya pencerahan demi keberhasilan pembudidayaan jenis
tanaman lokal yang dimaksud.
“Untuk
memberikan berbagai penjelasan tentang bagaimana sistem bercocok tanam dengan
jenis tanaman di atas, saya tidak memiliki brosur. Saya tidak punya uang untuk
membuat brosur. Padahal kalau ada brosur, pasti lebih mudah dimengerti oleh
masyarakat”, katanya mengeluh.
Usaha-usaha
yang dilakukannya ternyata berhasil sehingga mengundang perhatian banyak
kalangan termasuk dinas pertanian. Hanyalah bahwa tanggapan teman-teman
penyuluh setempat kurang apresiatif. ”Ia dianggap melakukan kegiatan yang
berseberangan dengan kebijakan pemerintah NTT”. Hahahaiya….
Usahanya
untuk menumbuhkembangkan kecintaan masyarakat pada jenis tanaman lokal terus
diperjuangkannya sambil mengabaikan ocehan-ocehan yang menilainya melawan arus
kebijakan pemerintah. Keberhasilannya di Adonara Barat dikembangkannya pula
bagi saudara-saudaranya di beberapa kabupaten di daratan Flores seperti
kabupaten Ende, Manggarai Barat, Nagekeo, Folres Timur, dan Adonara Barat
dengan sejumlah tantangan yang melelahkan dan terkadang menjengkelkan. Salah
satunya ‘kedatangannya tidak mendapat respek dari pemerintah daerah bahkan
kedatangannya karena dalam status sebagai petani, dinilai sebagai upaya
mengemis’. Busyeeet!
Yang
sedikit tidak sedap dipandang mata adalah, bahwa ketika terjadi peringatan Hari
Pangan Sedunia di Adonara, Loretha yang sebelumnya menerima penghargaan dari
Gubernur NTT di Kupang karena kepeloporannya membudidayakan pangan lokal,
tidak diundang. Tapi bagi Loretha, itu bukan masalah. Mungkinkah
kehadiran Loretha, menjadi gagguan kenyamanan? Wallahu alam.
Sepintas,
semua kalangan yang melihat gerakan wanita kelahiran Ketapang, Kalimantan
Barat, 28 Mei 1970 ini, menganggapnya sebagai orang dari kalangan berduit.
Pasalnya, ia sering mengumpulkan kelompok petani binaannya untuk diberi arahan,
ia mengajak pihak-pihak lain juga untuk hadir dalam berbagai pertemuan dengan
para petani. Tidak jarang pula perjumpaannya dengan pihak-pihak pemerhati
kegiatan kemanusiaan yang berminat pada perjuangannya, dipandang sebagai
kesempatan ia mendapat modal finansial. Maka jadilah Loretha tersiksa oleh
anggapan ini hingga ia harus berjuang lagi untuk meyakinkan bahwa ia
sesungguhnya tidak mendapat apapun dari kegiatannya bahkan dengan susah payah
membiayai kegiatannya dalam keprihatinan.
Di
tengah kegiatannya yang melelahkan itu, Maria Loretha akhirnya dikejutkan oleh
sebuah dering telpon dari seseorang yang menyebut dirinya Ketua Panitia NTT
Academy Award 2011. Pada hari Kamis malam tanggal 12 Januari, ia diundang untuk
ke Kupang, ibukota Propinsi NTT, sebagai salah satu pemenang NTT Academy Award
bersama tiga orang lainnya yang tidak ia kenal. Loretha tidak percaya dan
menolak ajakan itu. Tetapi dengan segala upaya meyakinkan, Ketua Panitia
berhasil menjadikan Loretha nekat menempuh perjalanan meletihkan menuju Kupang
pada tanggal 13 Januari 2012. Alhasil, pada tanggal 14 Januari 2012, bertempat
di Museum Negeri NTT, ia menerima anugerah NTT Academy Award 2011 dalam bidang Sains
dan Inovasi Keteknikan. Sedangkan tiga teman lainnya masing-masing
menerima award dalam kategori Inovasi Pembangunan,
entrepreneurship/kewirausahaan, serta humaniora dan inovasi sosial
budaya.
Tak
dibayangkannya untuk mendapat penghargaan ini, seperti juga tak dibayangkannya
pula bahwa selama berada di Kupang dalam rangka menerima penghargaan, lahan
persawahan di Larantuka daratan diserang hama tikus hingga babak belur
sedangkan wilayahnya dan tanaman pangan lokal yang dibudidayakan, bebas dari
hama. “Mungkin ini adalah akibat dari tidak selarasnya relasi alam dengan
manusia oleh penggunaan berbagai jenis pestisida”, katanya.
Loretha
memang seorang yang bijak. Uangnya dipakai untuk membelikan anggota kelompoknya
masing-masing 2 lembar CD, dan kepada masing-masing anggotanya uang tunai
sebanyak Rp 50.000 sedangkan sisanya hendak dibelanjakan sebuah alat pemarut
kelapa utnuk pengolahan buah kelapa. Piagam dan tropi yang diperolehnya
ditunjukkannya pula pada kelompok, seolahia mempunyai kewajiban
mempertanggungjawabkan semuanya kepada kelompok. Luar biasa !
Kini
Loretha sedang menanti saat puncak kedua pada bulan Pebruari 2012 untuk
menerima sebuah award lagi dari Kehati di Jakarta dan selanjutnya
akan melanglang buana ke pulau Sumba oleh undangan sebuah LSM di sana.
Tujuannya untuk melihat kondisi lahan di pulau Cendana ini bagi upaya perluasan
pembudidayaan varietas tanaman yang sudah dimulainya di daratan Flores-NTT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar